Pemerintah dinilai masih memiliki persoalan dalam strategi komunikasi terkait virus corona. Permodelan kasus oleh Badan Intelejen Negara (BIN), ketidakjelasan klaster penularan pasien, hingga terbatasnya informasi penanganan korban adalah sejumlah contohnya.
Pengamat komunikasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Kuskridho Ambardi menyebut setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan untuk menyelesaikan persoalan itu. Kuskrido yang akrab dipanggil Dodi, memaparkannya ketika menjadi narasumber diskusi daring Fisipol UGM, bertema Komunikasi Publik Masa Krisis COVID-19, Selasa (7/4).
Pertama, kata Dodi, yang harus dilakukan adalah pengelolaan dan penataan ulang pusat informasi dan pusat data virus corona oleh agensi pemerintah. Pusat informasi ini dapat dipusatkan di BNPB atau Kementerian Kesehatan.
“Kemudian yang kedua, data yang disediakan itu mulai diklasifikasikan, terutama yang paling penting untuk publik. Bagaimana informasi bisa digunakan untuk memenuhi survival instinct dari publik tersebut. Jadi, data individual pasien, sebarannya, kemudian klasternya dan seterusnya itu lebih spesifik,” kata Dodi.
Langkah ketiga, lanjut Dodi, adalah pengolahan data menjadi informasi dan berlanjut sebagai narasi. Dodi memisahkannya menjadi narasi pokok dan narasi spesifik. Narasi pokok ditujukan untuk seluruh masyarakat. Sedangkan narasi spesifik khusus ditujukan untuk komunitas-komunitas tertentu.
Perlu Perbaikan Koordinasi
Dodi meyakini, pemerintah sebenarnya telah sadar bahwa ada situasi kedaruratan komunikasi. Karena itu lahirlah kemudian gugus tugas yang bekerja di bawah koordinasi BNPB. Namun, menjadi persoalan adalah kinerjanya yang belum maksimal, dan ini menjadi tantangan tersendiri. Dia juga menyarankan perlunya kejelasan gugus tugas ini, apakah dia berada di bawah Kementerian Kesehatan atau tidak. Jika tidak ada kejelasan, kinerja gugus tugas dalam penyaluran data diyakini tidak akan maksimal.
Dodi menyarankan pemerintah belajar dari Singapura, Korea Selatan atau Taiwan.
“Di Taiwan itu yang yang menjadi komandan adalah Kementerian Kesehatan, tetapi di Indonesia prediksi malah dilakukan oleh BIN. Kok bisa ya? Ini komunikasi tentang kesehatan, prediksi masa depan kesehatan justru yang melakuan BIN. Struktur dan perannya itu masih agak sedikit tumpang tindih dan perlu diperbaiki,” tambah Dodi.
Dodi juga berbicara mengenai kultur patron-klien dalam birokrasi Indonesia. Dalam kasus terkait virus corona, bisa jadi apabila atasan memiliki informasi yang keliru, pejabat di bawah cenderung tetap mengikuti meskipun tahu itu salah. Kondisi ini mempersulit penyampaian informasi yang benar terkait virus corona kepada masyarakat.
Sementara itu, pakar komunikasi publik, Hermin Indah Wahyuni, menilai tantangan pemerintah saat ini adalah membuat informasi yang lebih terkoordinasi. Dia menegaskan, dalam situasi krisis desentralisasi informasi harus ditekan semaksimal mungkin. Informasi yang beragam dari sumber yang juga beragam, kata Hermin cukup beresiko di masa krisis.
“Ada pekerjaan rumah yang luar biasa, yaitu untuk membentuk suatu sistem yang lebih terkoordinasi, tersentralisasi. Karena kita meyakini, dalam suasana pandemik ini tidak banyak pilihan. Kita harus lebih ada integrasi pesan,” ujarnya.
Blunder Komunikasi Pemerintah
Hari Senin (6/4), Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial ( LP3ES) merilis hasil penelitian tentang komunikasi politik kabinet Presiden Joko Widodo selama pandemi COVID-19. Lembaga ini menyatakan, selama menghadapi pandemi pemerintah melakukan sejumlah blunder atau kekeliruan komunikasi.
Dalam kurun waktu 1 Januari hingga 5 April 2020, LP3ES mencatat ada 37 pernyataan blunder pemerintah terkait virus corona. Beberapa contoh blunder komunikasi itu misalnya Wakil Presiden Ma'ruf Amin yang menyebut virus corona menyingkir dari Indonesia karena doa qunut. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto juga sempat mengatakan bahwa virus ini tidak masuk ke Indonesia karena perizinannya susah.
Selain itu, dalam menyampaikan keputusan terkait mudik, pemerintah juga melakukan blunder. Pidato Presiden Jokowi dipaparkan lebih jauh oleh juru bicara Fadjroel Rachman, tetapi kemudian dibantah oleh Mensesneg Pratikno. Juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19, Achmad Yurianto juga pernah melakukan blunder, ketika meminta masyarakat miskin tidak menularkan virus ini kepada orang kaya.
Pelatihan Komunikasi Relawan
Satgas COVID-19 UGM dan tim HPU Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM/ hari Selasa (7/4) menggelar pembekalan komunikasi secara daring bagi para relawan. Ada lebih dari 200 peserta pembekalan ini, yang diharapkan mampu menjadi agen edukasi kepada masyarakat, terutama melalui media sosial.
Dekan FKKMK UGM, Prof. Ova Emilia menilai komunikasi menjadi faktor penting agar virus corona lebih dipahami masyarakat.
“Kalau kita bicara profesi dokter, komunikasi adalah 80 persen menuju ke arah diagnosa yang benar dan manajemen yang benar. Apabila komunikasi salah araah, maka akan menjadi salah semuanya. Jadi itu menggarisbawahi kenapa komunikasi menjadi sangat penting,” kata Ova.
Dia memberi contoh, himbauan berjemur yang marak disampaikan sepanjang wabah pandemi ini. Namun ada silang pendapat mengenai pukul berapa kegiatan ini sebaiknya dilakukan di Indonesia, sehingga muncul kebingungan di masyarakat. Juga mengenai pemakaian masker, yang dulu tidak disarankan tetapi sekarang justru diwajibkan. Komunikasi, kata Ova, harus mempertimbangkan bahasa, cara penyampaian, dan audiens yang dituju.
Dokter yang juga influencer Tirta Mandira Hudhi atau dr.Tirta, turut berbagi pengalaman dalam pelatihan daring ini. Tirta memandang para relawan memegang peran strategis dalam memutus mata rantai penyebaran virus corona melalui edukasi masyarakat.
“Jadi relawan itu ada medis dan non medis. Relawan medis berjuang langsung dengan pasien dan relawan non medis berjuang di belakang dengan edukasi dan prevensi,” jelas kata Tirta yang alumnus FKKMK UGM.
Menurutnya, edukasi masyarakat harus dilakukan dengan memahami karakteristik masyarakat sebagai audiens. Tirta memberi contoh, ketika berhadapan dengan masyarakat menengah ke bawah di terminal atau pasar bahasa yang digunakan tidak boleh formal. Berbeda dengan masyarakat kelas menengah ke atas yang dapat menyerap istilah-istilah asing.
“Kalau kelas menengah ke atas pakai IG saja kelar. Kalau kelas menegah ke bawah harus didatengin dan diajari langsung. Ada contoh, seperti cara cuci tangan yang benar, pakai masker, cara batuk dan lainnya,” tambah Tirta.
Buku Krisis Komunikasi
Sementara itu, 40 akademisi komunikasi seluruh Indonesia telah menerbitkan sebuah buku bersama. Buku setebal 288 halaman ini berjudul "Krisis Komunikasi dalam Pandemi COVID-19" dan berisi kajian pandemi dalam perspektif Ilmu Komunikasi.
“Buku ini merupakan wujud kontribusi keilmuan kami sebagai akademisi Ilmu Komunikasi,” kata editor buku, Fajar Junaedi yang juga dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Buku ini membahas komunikasi publik pemerintah menghadapi virus corona. Salah satunya terkait kegagapan pemerintah pusat mengelola komunikasi publik yang justru menambah kepanikan masyarakat. Ada juga bahasan mengenai relasi media dan publik seputar virus corona, baik media massa maupun media sosial berdasarkan riset dan konseptual. [ns/ab]